
Oleh: Ali Nurdin (Ketua Umum Buruh Migran Nusantara Sarbumusi)
Selama ini, para Pekerja Migran Indonesia (PMI) seolah menjadi tulang punggung yang terlupakan. Mereka adalah wajah lain dari tenaga kerja Indonesia yang berjuang di luar negeri, menyumbang devisa triliunan rupiah setiap tahunnya, tetapi seringkali pulang dengan cerita getir: upah tak dibayar, kekerasan di tempat kerja, perlakuan diskriminatif, korban eksploitasi perdagangan manusia hingga status sosial yang nyaris tak diakui di tanah airnya sendiri.
Ironisnya, di tengah besarnya kontribusi itu, perhatian negara terhadap kesejahteraan dan perlindungan PMI masih jauh dari memadai. Padahal, secara struktural, hampir tiga puluh kementerian dan lembaga pemerintah memiliki tanggung jawab langsung maupun tidak langsung terhadap urusan pekerja migran—mulai dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian P2MI, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, kementerian Desa, Kementerian HAM, Kementerian perlindungan Perempuan dan lainnya yang seharusnya menjadi garda depan perlindungan. Namun, koordinasi antar lembaga itu kerap tumpang tindih, berjalan sendiri-sendiri, dan kehilangan fokus terhadap tujuan utama: melindungi manusia di balik istilah “pahlawan devisa”.
Ketika berbagai instansi sibuk mengklaim perannya, pekerja migran justru masih harus berjuang sendirian menghadapi birokrasi yang rumit, agen nakal, serta minimnya akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan advokasi hukum. Banyak dari mereka tidak memahami kontrak kerja yang mereka tandatangani, tidak tahu ke mana harus melapor ketika haknya dilanggar, dan tidak mendapat pendampingan psikososial saat menghadapi kekerasan. Dalam kondisi seperti ini, menjadi jelas bahwa perjuangan untuk memperbaiki nasib PMI tidak bisa lagi dilakukan secara terpisah.
Gerakan Kolektif Perjuangan Bagi Pekerja Migran
Di sinilah pentingnya sebuah kekuatan kolektif – gerakan bersama yang melampaui sekat organisasi, latar belakang, bahkan orientasi politik. Sebuah aliansi yang menyatukan berbagai komunitas, serikat pekerja, LSM, tokoh masyarakat, dan akademisi untuk memperjuangkan hak-hak pekerja migran secara terintegrasi.
Sebab pengalaman menunjukkan, ketika perjuangan dilakukan secara parsial, hasilnya hanya sebatas seremonial; tetapi ketika dilakukan secara bersama-sama, dengan satu suara dan arah yang jelas, negara tidak bisa lagi menutup mata.
Kekuatan aliansi semacam ini tidak hanya penting untuk menekan pemerintah agar memperkuat kebijakan perlindungan, tetapi juga untuk memperjuangkan kesetaraan sosial bagi para PMI dan keluarganya. Selama ini, stigma terhadap pekerja migran masih lekat – mereka dianggap kelas dua dalam struktur tenaga kerja, padahal di banyak negara, mereka justru menjadi tumpuan produktivitas ekonomi. Aliansi kolektif dapat mengubah narasi ini: bahwa bekerja di luar negeri bukan aib, melainkan bentuk pengabdian dan ketahanan ekonomi keluarga dan ekonomi Negara.
Lebih jauh, gerakan bersama juga dapat menjadi jembatan antara kebijakan nasional dan kebutuhan riil di lapangan. Misalnya, memperjuangkan skema jaminan sosial lintas negara, pendampingan hukum berbasis komunitas di luar negeri, dan pemberdayaan ekonomi bagi keluarga PMI di desa. Dengan bersatu, mereka dapat menuntut kehadiran negara dalam bentuk konkret: pelayanan satu pintu yang mudah diakses, bantuan hukum tanpa diskriminasi, dan pengakuan sosial terhadap peran pekerja migran dalam pembangunan nasional.
Konteks global saat ini juga menuntut solidaritas baru. Ketika ekonomi dunia berfluktuasi, kebijakan imigrasi diperketat, dan teknologi menggantikan banyak jenis pekerjaan manual, buruh migran harus siap beradaptasi dengan keterampilan baru. Dalam hal ini, aliansi pekerja migran dapat berperan sebagai ruang edukasi dan pemberdayaan – bukan hanya tempat berkumpul dan mengadu nasib, tetapi wadah membangun kapasitas, kesadaran, dan martabat bersama.
Sebab, perjuangan mereka sesungguhnya bukan hanya soal upah, melainkan tentang pengakuan sebagai warga negara yang setara dan berhak atas kehidupan yang bermartabat. Setiap PMI yang berangkat meninggalkan keluarganya di tanah air membawa harapan, bukan sekadar demi ekonomi keluarga, tetapi juga demi masa depannya.
Kini, saatnya kekuatan itu bersatu. Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, tidak lagi saling menunggu atau saling menyalahkan. Sudah waktunya perjuangan buruh migran menjadi gerakan nasional yang solid, terorganisir, dan berpengaruh-gerakan yang mampu memastikan bahwa setiap tetes keringat di negeri orang dibayar dengan keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan di negeri sendiri.
Karena tanpa persatuan, pekerja migran akan terus menjadi angka di tabel statistik devisa. Tapi dengan bersatu, mereka bisa menjadi suara perubahan—bukan sekadar “pahlawan devisa”, melainkan pahlawan yang diperjuangkan martabatnya.